"saya terima nikahnya liza binti fulan dengan mas kawin seperangkat alat sholat, tuuunai" suara itu kudengar mantap lewat handphone yang didekatkan padanya.
awalnya hanya setetes, namun kemudian entah berapa tetes airmata ini mengalir deras membasahi mataku. Bian, lelaki gagah itu sekarang sudah resmi beristri, dan sekarang disini aku menangis... meski ada denyutan di dadaku, masihkah tangisan ini pantas untuknya atau tidak. Air mata ini semakin deras hingga perlahan membawaku pada kenangan di masa-masa kuliah dulu.
"ni, tugas laporan praktikum biokimia dah selesai apa belum?"
"hmm, pasti mau nyontek." jawabku dengan wajah sok sewot."nih". kusodorkan laporan itu ke hadapannya. senyumnya mengembang, diambilnya laporan itu dari tanganku. sejenak kami saling menatap. deg... jantungku tiba-tiba berdegup kencang. entah apa pula yang dirasakannya, tapi setelah aksi saling tatap itu, kami sama-sama salah tingkah.
"Arni, laporan Nopi juga belum selesai. biar laporan Arni ama Nopi dulu ya, ntar baru kasih ke Bian, atau kalo mau cepet, fotokopi aja yan..." celoteh Nopi yang sekaligus memecah kebekuan diantara aku dan bian.
entah apa yang ada dibenakku waktu itu. yang pasti aku tidak ingin persahabatan kami bertiga ternodai ikatan cinta antara aku dan bian. Perasaan itu tetap kupendam dan kusimpan rapat-rapat dalam palung hatiku terdalam. kadang rasa ini membuncah dan telingaku panas, kala mendengar teman-temanku membicarakannya, mengaguminya atau sekedar ingin menyampaikan salam padanya melalui aku. setiap rasa cemburu yang muncul selalu kututupi dengan senyumku yang sempurna.
"Uni cinta sama bang bian?"tanya anak itu padaku pada suatu ketika. Ari, adik tingkatku yang satu kos-an dengan Bian.
aku yakin saat itu pipiku memerah, namun kusembunyikan dengan pura-pura mengaduk larutan NaOH 0,5 Molar di meja praktikumku. "apa sih ri?" ucapku dengan sedikit gugup. "Uni cuma berteman akrab kok dengan abangmu tu".
"hahaha, udahlah ni, gak usah malu-malu sama ari, keliatan kok uni malu-malu. hmm, coba dengar, semua yang uni sentuh saat ini mendendangkan lagu cinta yang lirih, xixixixi." katanya dengan gaya khasnya yang lebay. aku terdiam, tak tahu mau bilang apa.
"uni tau nggak, bang Bian juga suka lho sama uni." cilotehnya sambil memandang nakal ke arahku.
"hmm, jadi dah jelaskan kalo kalian saling suka, hehehe. Ari bisa kok mencomblangkan Uni dan bang Bian." lanjutnya enteng dengan tangan terlipat didepan dadanya.
cukup sudah, saat itu aku mau meledak. segera aku ke ruangan Khusus assisten dosen. kebetulan ruangan itu sedang kosong. kuraba dadaku, masih berdegup kencang, aku dan Bian? "Ya Allah, mungkinkah ini akan terjadi?" bisikku lirih dalam hati.
Tangisan Farhan, membuyarkan lamunanku. Anakku yang baru saja berumur 3 bulan 10 hari itu terbangun. segera kuletakkan Handphone tanpa ku matikan. ku peluk anakku, oops, rupanya popoknya basah. dengan telaten kuganti popoknya dengan popok baru. setelah kuciumi beberapa kali, kuletakkan bayi mungil tersebut di atas ayunannya. ku ayunkan perlahan supaya ia kembali terlelap. kuambil kembali Handphone tersebut, masih nyambung. kembali kudengar proses ijab kabul tersebut dan sepertinya hampir selesai. kutengadahkan tanganku dan kutundukkan wajahku, khusyuk mendengarkan doa yang sayup-sayup terdengar dari seberang sana untuk kedua mempelai. dan air mata ini kembali meleleh dari kedua mataku.
"Uni, dah selesai ni." Kudengar suara Ari yang serak dari ujung sana.
"iya, makasih ya dek. Ari kenapa?" tanyaku padanya.
"sedih aja ni, Ari ama bang Bian dah akrab banget. dan sekarang rasanya ri bakal kehilangan teman bermain, bergelut dan teman sekosan. canggung banget rasanya." Ujarnya sambil kudengar sesekali dia terisak.
"tenang aja dek, uni yakin, bang Bian gak bakal menjauh dari Ari kok. Itu biasa, setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, yang penting kita tetap saling bersilaturahim." ucapku pelan dan lirih.
Kupandangi bayi mungil buah cintaku dengan bang Faisal tersebut. ah, aku terlalu emosional. semuanya telah berlalu, meski hingga saat ini aku tak pernah tahu apakah Bian benar-benar mencintaiku, dan Ari gagal menyatukan kami, toh sekarang aku bahagia dengan suamiku yang sekarang, suami terbaik yang dipilihkan orang tuaku sebagai imamku.
"nanti sampaikan salam uni untuk bang Bian dan...istrinya ya" ucapku dengan sedikit tersendat menyebutkan kata istrinya tersebut. kututup pembicaraan kami. sejenak aku tertegun, ada perasaan sakit yang menyentak tiap kali mengingat Bian, lelaki gagah yang dulu bertahun-tahun mendiami hatiku, menikah dengan wanita lain.
"Semoga bahagia Bian, amin" ucapku dalam dan lirih sembari mengusap rambut anakku.
B I A N
Read User's Comments(0)
Langganan:
Komentar (Atom)
